Perahu Kertas #1
Halo semesta, yang sedang ingar-bingar.
Aku pernah berkhayal, kapan ya suatu hari bisa kuliah tapi aku tinggal di rumah bersama ayah, ibu, dan adik. Kemudian itu terwujud.
Aku juga pernah berkhayal, kapan ya suatu hari tidak perlu repot-repot pergi rapat ke sekretariat yang waktu tempuhnya nyaris setengah jam. Kemudian itu terwujud, rapat dilakukan secara daring.
Tanpa sadar hal-hal yang aku pertanyakan sebelumnya terjawab begitu saja. Aku teringat, suatu hari aku dan seorang teman sedang berjalan di trotoar Jalan Malioboro. Sebut saja nama temanku itu Angkasa.
Waktu itu Malioboro seperti biasanya, ramai. Manusia seperti tidak bisa absen memadati jalan itu. Aku dan Angkasa cukup sering ke sana, langganan menghadiri Selasa Wage atau datang karena tugas liputan. Tapi kali ini kami datang untuk mencari sesuatu di pasar barang bekas. Pasar itu hanya buka pada malam hari. Itupun lokasi sebenarnya adalah lapangan tempat parkir yang beralih fungsi.
Tiba di sana, sepertinya kami datang terlalu awal. Pelapak masih banyak yang baru membuka terpal. Beberapa kali mengitari, kamera-kamera yang ditemui sudah masuk kategori tidak layak. Angkasa yang lebih tahu soal ini beberapa kali menggelengkan kepala. Beruntung ia mau menemaniku.
Tapi, Angkasa juga tidak bilang seratus persen kamera di sini bisa dipakai meskipun masuk kategori layak. Penguji sesungguhnya ada di hasil roll film nanti.
Bisa ditebak kan, kami sedang mencari kamera analog. Super deg-degan, malam itu aku bahagia sekali. Akhirnya kami berhasil menemukan kamera analog yang harganya setara dengan segelas moka di kafe dekat kampus. Semurah itu!
Aku syok, sungguh. Parah sekali! Sudahlah semurah itu, aku tawar lagi. Tidak menyangka, bapak penjualnya mau! Aku menahan tawa. Angkasa juga, aku yakin.
Setelah mengambil uang kembali, aku dan Angkasa cepat-cepat kabur. Takut kalau kami tertawa di depan bapak penjual, harganya malah jadi naik.
Saking senangnya, aku meloncat-loncat saat sudah di dekat gerbang. Angkasa tertawa, kami masih tidak menyangka. Sampai susah bernapas karena ngos-ngosan tertawa. Aku lupa bagaimana keadaan Angkasa, yang jelas aku sampai seperti itu.
Beruntung ada bangku-bangku di trotoar, kami duduk di sana sambil mengatur pernapasan.
Cerita berikutnya agak panjang. Intinya aku dan Angkasa pulang membawa dua kamera analog. Satunya jauh lebih keren. Nama kamera itu Vivitar. Harganya juga jauh di atas kamera tadi, Angkasa dan aku patungan. Angkasa yang meracuniku untuk patungan beli Vivitar, tapi kemudian ia juga yang protes, "kan ada opsi untuk menolak, kenapa tidak dipilih tadi."
Ya bagaimana, aku juga sama penasarannya.
Pulang dari borong kamera, kami berjalan menuju parkiran yang cukup jauh dari pasar tadi. Melewati kepadatan manusia di trotoar Jalan Malioboro. Saat itu terlintas begitu saja satu pertanyaan, kemudian aku lontarkan ke Angkasa, "kapan ya Malioboro sepi?"
Aku lupa Angkasa jawab apa, yang pasti aku menyesal sudah mempertanyakan hal itu. Pada akhirnya sekarang tidak ada turis berlibur dan memadati Jalan Malioboro. Semua seperti menghilang karena virus yang sedang merajai dunia saat ini.
Sungguh, aku rindu jalan-jalan di Malioboro.
Sekian.
Aku pernah berkhayal, kapan ya suatu hari bisa kuliah tapi aku tinggal di rumah bersama ayah, ibu, dan adik. Kemudian itu terwujud.
Aku juga pernah berkhayal, kapan ya suatu hari tidak perlu repot-repot pergi rapat ke sekretariat yang waktu tempuhnya nyaris setengah jam. Kemudian itu terwujud, rapat dilakukan secara daring.
Tanpa sadar hal-hal yang aku pertanyakan sebelumnya terjawab begitu saja. Aku teringat, suatu hari aku dan seorang teman sedang berjalan di trotoar Jalan Malioboro. Sebut saja nama temanku itu Angkasa.
Waktu itu Malioboro seperti biasanya, ramai. Manusia seperti tidak bisa absen memadati jalan itu. Aku dan Angkasa cukup sering ke sana, langganan menghadiri Selasa Wage atau datang karena tugas liputan. Tapi kali ini kami datang untuk mencari sesuatu di pasar barang bekas. Pasar itu hanya buka pada malam hari. Itupun lokasi sebenarnya adalah lapangan tempat parkir yang beralih fungsi.
Tiba di sana, sepertinya kami datang terlalu awal. Pelapak masih banyak yang baru membuka terpal. Beberapa kali mengitari, kamera-kamera yang ditemui sudah masuk kategori tidak layak. Angkasa yang lebih tahu soal ini beberapa kali menggelengkan kepala. Beruntung ia mau menemaniku.
Tapi, Angkasa juga tidak bilang seratus persen kamera di sini bisa dipakai meskipun masuk kategori layak. Penguji sesungguhnya ada di hasil roll film nanti.
Bisa ditebak kan, kami sedang mencari kamera analog. Super deg-degan, malam itu aku bahagia sekali. Akhirnya kami berhasil menemukan kamera analog yang harganya setara dengan segelas moka di kafe dekat kampus. Semurah itu!
Aku syok, sungguh. Parah sekali! Sudahlah semurah itu, aku tawar lagi. Tidak menyangka, bapak penjualnya mau! Aku menahan tawa. Angkasa juga, aku yakin.
Setelah mengambil uang kembali, aku dan Angkasa cepat-cepat kabur. Takut kalau kami tertawa di depan bapak penjual, harganya malah jadi naik.
Saking senangnya, aku meloncat-loncat saat sudah di dekat gerbang. Angkasa tertawa, kami masih tidak menyangka. Sampai susah bernapas karena ngos-ngosan tertawa. Aku lupa bagaimana keadaan Angkasa, yang jelas aku sampai seperti itu.
Beruntung ada bangku-bangku di trotoar, kami duduk di sana sambil mengatur pernapasan.
Cerita berikutnya agak panjang. Intinya aku dan Angkasa pulang membawa dua kamera analog. Satunya jauh lebih keren. Nama kamera itu Vivitar. Harganya juga jauh di atas kamera tadi, Angkasa dan aku patungan. Angkasa yang meracuniku untuk patungan beli Vivitar, tapi kemudian ia juga yang protes, "kan ada opsi untuk menolak, kenapa tidak dipilih tadi."
Ya bagaimana, aku juga sama penasarannya.
Pulang dari borong kamera, kami berjalan menuju parkiran yang cukup jauh dari pasar tadi. Melewati kepadatan manusia di trotoar Jalan Malioboro. Saat itu terlintas begitu saja satu pertanyaan, kemudian aku lontarkan ke Angkasa, "kapan ya Malioboro sepi?"
Aku lupa Angkasa jawab apa, yang pasti aku menyesal sudah mempertanyakan hal itu. Pada akhirnya sekarang tidak ada turis berlibur dan memadati Jalan Malioboro. Semua seperti menghilang karena virus yang sedang merajai dunia saat ini.
Sungguh, aku rindu jalan-jalan di Malioboro.
Sekian.