K&R
"Gimana ya, rasanya bisa tinggal di planet lain selain Bumi. Yang warnanya biru, terus diterangi bintang biru juga dan gak ada polusi," gumam seorang gadis sambil mendongak ke luar jendela.
"Ngawur! Mungkin sih, iya. Tapi sampai cucunya cucu kamu punya cucu!" tukas teman cowok yang duduk di sampingnya.
Gadis itu membalikkan badannya, "Apa salahnya berharap. Diem aja."
"Jangan ngarap ketinggian. Ntar gak nyampai, terus kamu jatuh. Jatuh itu, bukannya nggak sakit tauk."
Ia hanya membalas dengan memutar searah jarum jam kedua matanya, membalikkan badan, dan kembali kembali berhayal melihat luar jendela.
Rere suka sekali menghayal. Mulai untuk sejam yang akan datang, besok, bulan depan, tahun depan, 12 tahun yang akan datang, hingga berabad-abad-abad yang akan datang. Semua ia bayangkan. Dan semua itu membuat teman sebangkunya—Key risi berat setiap hari. Berbanding terbalik dengan Rere, Key benar-benar tidak menyukai khayalan bodoh yang nihil terjadi. Tapi, entah ini takdir atau sandiwara yang tak pernah Kay inginkan, ia merasa selalu didekatkan dengan sosok pemimpi itu.
••••
"Wah, keren banget cerita kamu! Lain kali, coba ekspresikan di kertas. Kamu tulis, terus kalau ada lomba cerita fiksi gitu, kamu kirim deh!" Komentar Gena yang sudah mengikuti banyak lomba karya tulis ilmiah setelah mendengar cerita (khayalan) Rere.
"Yang bagitu kamu puji, makin gak bisa berhenti ngayal lah dia. Aku dengar tiap hari. Dan makin hari, bukannya makin waras, malah gila." Kay nyelosor seenaknya.
"Yee.. Namanya juga ngayal, ya nggak ada yang waras lah, Tuan SOK re-a-lis-tis," balas Rere kemudian memutar matanya sebagaimana yang selalu ia lakukan jika mendengar omelan Key.
"Ha-ha, kalian berdua ini adalah Pangeran Realistis dan Putri Penghayal yang kelak akan saling jatuh cinta, kemudian menjadi keluarga yang hidup bahagia selamanya," ucap Gena sambil cekikikan.
Spontan Rere dan Key saling bertatapan, kemudian mengernyitkan dahi. "Hah?!" mereka menjerit bersamaan.
"Ya, nggak bakalan lah Na," sambung Key.
"Itu sudah terjadi ratusan tahun lalu," celetuk Rere.
"Maksudmu?" kali ini Key dan Gena yang bersamaan. Bedanya, Key berekspresi serius, sedangkan Gena tersenyum geli.
"Karena... Pangeran dan Putri itu adalah ratusan tahun lalu adanya. Jadi, ya... Sekarang udah nggak ada. Dan, yang pakai kalimat hidup bahagia selamanya itu sebagian besar ada di dongeng yang sudah berlangsung ratusan tahun lalu. Jadi... Ya, begitulah," jelas Rere dengan nada gantung. Ia berpikir keras untuk menjawab.
Wajah Key kembali semula, tidak berekspresi seserius tadi. "Tumben nggak ngawur."
"Tapi, aku kurang setuju kalau sekarang Pangeran dan Putri itu nggak ada. Pasti masih ada lah," perkataan Gena menggantung. "Nih!" menunjuk Key dan Rere. Lalu cekikikan lagi.
"Nggak lucu.." Key melengos.
••••
Sore pulang sekolah, para siswa disuguhkan dengan pertunjukan air yang datang keroyokan dari langit. Seolah membalas musim kemarau yang tega membuat sungai besar di kota surut, sampai-sampai hanya menampilkan hamparan pasir yang luas. Para siswa yang pulang dengan berjalan kaki atau sepeda sudah terlanjur tidak membawa persiapan untuk menangkis hujan, lebih memilih menunggu di koridor-koridir kelas. Termasuk Rere, Key dan teman-temannya.
"Lari aja yuk, sepeda ditinggal di sini. Nanti, siapa tahu hujannya reda tiba-tiba," saran Rere dengan suara dikeraskan berusaha melawan suara air yang beradu dengan atap, dan riuh anak-anak yang juga menunggu.
"Peluang siapa tahu kamu terjadi itu, cuma satu banding sejuta. Tahu nggak," balas Key dengan suara yang tak kalah keras dari Rere.
"Eh, Re, Key sorry banget ya kami gak bisa pulang bareng kalian. Aku udah dijemput mama, Elza sama Kown ikut aku," jelas Gena yang baru keluar dari warung telepon sekolah.
"Oke, no problem," sahut Rere sambil melambaikan tangan. "Bye.."
Rere, Key, Gena, Elza dan Kown adalah teman seperjalanan pergi dan pulang sekolah. Rumah mereka searah tapi, Rere dan Key lebih jauh.
••••
Jam di taman sekolah sudah menunjukkan pukul 17:30 tetapi hujan tetap tidak mengizinkan mereka untuk pulang. Guyuran hujan tetap stabil dari bel pulang sekolah berbunyi. Yang ada, sekarang ditambah dengan langit yang semakin gelap. Yang setia menunggu hujan reda pun tak seramai tadi. Malah, bisa dihitung dengan jari.
"Kalau kamu nggak nolak saran aku tadi, gak bakal gini ceritanya, dan kalau pun kamu gak mau ikut, aku udah lari dari tadi. Gak perlu ngalangin aku, Key!" Rere sudah kesal karena dari tadi Key tidak membiarkannya pulang sendirian menerobos hujan.
"Sebentar lagi azan magrib. Ayo ke mushola," jawab Key tanpa meladeni celotehan Rere. Ia bangkit dari tempat duduknya. Kursi panjang yang tersedia di sepanjang koridor, yang disediakan menghadap ke taman sekolah.
"Nggak." Rere sangat kesal dengan ketidakpeduliannya Key.
"Ini perintah Allah, bukan aku." Kali ini Key benar-benar beranjak dari tempat penungguannya. Tak lama kemudian azan magrib berkumandang. Terdengar jelas dari tiga masjid dan satu mushola beriringan.
"Oh.. Key.." Rere bergumam kemudian berlari. "Hoi! Key! Tungguin! Sorry deh, sorry!" kali ini Rere berteriak dan berhasil mengalahkan suara air yang beradu dengan atap sekaligus suara azan dari mushola.
Suara itu terdengar jelas di telinga Key. Membuatnya tersenyum simpul. "Rere, Rere kamu memang gak bisa menang dari aku." bisik Key, memperlambat jalannya.
••••
"Sekarang kita mau ngapain lagi?" Tanya Rere sambil memainkan air yang jatuh dari atap mushola, menunggu Key memasang sepatu.
"Pulang lah. Memangnya mau, tidur di mushola sampai besok?"
"Hah? Nggak lah, kamu aj–..." tiba-tiba listrik di sekolah dan sekitarnya padam. "Gila! Dramatis amat, pake acara mati listrik segal–..." lagi-lagi omongan Rere terpotong, karena detik itu juga suara petir berseru menggelegar. Cepat ia merunduk, menutup telinga dan beristigfar berkali-kali. Tak peduli dengan keadaan Key yang tidak terdeteksi lagi keberadaannya. Saking gelapnya.
Tekk! Listrik kembali hidup dan keadaan kembali benderang.
"Key!" Rere memandang sekitar dan, seketika tawanya meledak.
"Eng.. Eh.. Em–maaf ya Pak," sambil melepas kedua lengannya dari tubuh gempal seseorang, Kay salah tingkah dan malu berat.
"Key, ha-ha-ha, ngapain Pak Komar kamu peluk? Seumur-umur yah–ha-ha." Rere berusaha melanjutkan ejekkannya sambil menahan betapa geli perutnya melihat pemandangan langka tadi.
"Untung Bapak yang dipeluk, nggak dirimu nak, bukan muhrim," kata Pak Komar pada Rere, entah membela Key, atau menyindir mereka yang hanya berdua. Walaupun begitu Pak Komar adalah sosok penjaga sekolah yang ramah, mencintai puisi, dan suka melucu. Melucu karena ocehannya, maupun tingkah dan tubuhnya yang bulat seperti Papa Zola dalam serial film animasi Boboi Boy.
"Maaf Pak, jangan salah sangka, kami ini tetanggaan, jaraknya dua rumah. Kami mau pulang tapi gak jadi-jadi karena hujan," jelas Key. Sedangkan Rere, masih sibuk menahan cekikikan. Susah sekali untuk dihentikan.
"Haduh, kasihan temanmu itu, Oskadonnya sudah habis."
"Eng.., Pak, wartel masih nyala kan?" Key sebenarnya tidak tertarik berlama-lama di teras mushola itu.
"Masih, telepon aja sana. Hati-hati,"
"Re, ayo," Key menarik lengan Rere yang tawanya sudah melemah. Kemudian berhenti di depan wartel sekolah dan mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. "Taraa!"
"Kaaay!! Kurang asem lu! Bilang kek dari tadi kalau bawa payung! Kan sekarang aku udah nonton teve di rumah, minum teh anget, ngemil biskuit kesukaanku, main laptop, dan lain-lain lah pokoknya yang asik pas lagi hujan gini," suara Rere melengking. Pak Komar pasti mendengarnya, karena hujan sudah cukup reda.
Key cengengesan. "Sekali-kali ngerjain kan gak pa-pa," kemudian berlari sambil tertawa menghindari Rere yang nyaris meninju lengan atas kirinya.
"Udah sering tauk! Tungguin!" Rere juga ikut tertawa, mengejar Kay.
Re, lain kali begini lagi ya. Kita main bareng, sama hujan...
Jika bulan kembali bersinar, terangnya pasti kalah dengan senengnya aku hari ini. Dan hari lainnya, saat melihat kamu. Key bergumam dalam hati, memperlambat jalannya dan berharap Rere akan menangkapnya.
Jika bulan kembali bersinar, terangnya pasti kalah dengan senengnya aku hari ini. Dan hari lainnya, saat melihat kamu. Key bergumam dalam hati, memperlambat jalannya dan berharap Rere akan menangkapnya.
"Dapat!" sekarang, Rere yang berlari. Dan, membawa kabur payung curian.
"Sial, ini yang aku benci dari kata berharap. Gak bakalan terjadi!" Key berbisik kemudian mengambil ancang-ancang untuk mengejar dan merebut balik payungnya. "Pencuri! Kembalikaaan!!!"
"Stop! Sepeda kita??!"