Perahu Kertas #23
Selamat malam,
Aku menyebut seorang yang aku suka dengan nama Angkasa juga ya di sini? Ohiya benar, ada di Perahu Kertas awal-awal. Ini adalah postingan pertama di tahun 2022, meskipun tidak juga. Januari kemarin aku sempat mau menulis, tapi entah kenapa tulisannya terpotong, baru tiga baris. Sepertinya waktu itu aku mau berterharu ria karena sedang bersenang ria tapi jatohnya inget-inget yang bersedih ria. Yah, begitulah.
Di tahun ke-22 ini—ceilah baru juga jalan 10 hari, aku merasa jadi orang yang dewasa awal itu.. sungguh tidak enak. Memberatkan. Penuh masalah yang timpang tindih, bersangkut-paut, bak domino. Satu hal dapat berkelindan dengan hal lain. Berinteraksi dengan manusia adalah hal paling rumit, ya siapa pula yang bilang gampang. Mereka punya 1001 defense mechanism. Niat ingin berpesan A, yang ditangkap B, dampaknya C. Aghh!
Setelah dibaca ulang, jelek sekali ya tulisanku. Kalimat pertama paragraf pertama dengan kalimat selanjutnya ngga nyambung. ew. Tapi, pada dasarnya, semua riuh gelisah yang aku rasakan akhir-akhir ini, kalau bukan skripsi, ya Angkasa, atau ga lembaga. Hmm..
Entah kenapa 80% isi kepalaku dalam 24/7 adalah Angkasa. Angkasaangkasaangkasa. Selalu. Entah kenapa. Aku lama-lama jadi orang gila karena itu. Entah apa yang aku pikirkan, cemaskan. Bodohnya ya, Angkasa padahal tidak menganggapku apa-apa. Sudah jelas dan mendapat ultimatum, masih saja aku ngeyel. Memang bandel dan keras kepala.
Tapi aku mau mengakui, mau sekeras apapun kepalanya aku, ternyata kepala Angkasa jauh lebih keras. Benar-benar seperti menghadapi adekku, parah. Aku pasti kalah. Bahkan di saat aku sudah menyusun rencana yang matang—b aja sih.
Hari ini Angkasa ke rumah sakit, aku akui aku keras kepala sekali pagi ini. Aku pikir aku bisa membantu seorang Angkasa, menemaninya ke rumah sakit, berdialog selagi menunggu—boro-boro juga sih sebenarnya, kita lagi berantem. ew. Emosiku sedang tidak stabil dan banyak memikirkan hal bodoh, kekanak-kanakan, egois. Sedangkan Angkasa juga sedang memikirkan banyak hal, yang jelas bukan aku. Ya, ada aku, ini aku tambahkan, karena kebodohan aku yang sering menghilang, lalu ia marah, kesal.
Tadi aku mau ngomong apa sih?
Ohiya, pagi ini. Sudah aku rencanakan skenario aku ke rumah sakit dengan bus trans, membawa helm, nanti akan aku bawakan motornya, pulang ke kontrakannya, lalu bercengkrama dengan teman-teman di kontrakan, main dengan ochenk, makan siang bareng, lalu aku pulang dengan bus trans. Buyar.
Angkasa langsung menutup teleponku begitu aku tanya sedang di sebelah mana. Pesanku tidak dibalas. Aku disuruh pulang. Jelas aku tidak akan menyerah semudah itu. Sampai akhirnya Angkasa mau. Namun, aku hanya berpikir skenario yang ada di kepalaku. Lupa kalau Angkasa punya kepala yang keras. Tidak akan mudah menurut begitu saja. Dengan keras kepalanya ia tetap yang bawa, hendak mengantarku sampai kos yang jaraknya 5 km dari kontrakannya. Bagaimana aku tidak panik.
Sepanjang perjalanan, kata yang ia sebutkan hampir sepenuhnya penolakan, "nda" "nda" "nda" untuk setiap pertanyaan dan tawaranku. Bisa gila aku. Di situasi yang seperti ini, aku mulai skeptis dengan segala hal tentang hubungan, dengan diri aku sendiri, dengan orang yang aku hadapi sekarang, ataupun dengan orang yang kelak akan aku hadapi. Mungkin jika tokohnya adalah sepasang sejoli yang memang saling suka dan mencintai, tidak akan seburuk ini.
Aku hanya bisa menghela nafas. Bisa-bisanya aku suka dengan orang seperti ini? Tapi, pikiran itu dan semua masalah ini bagai sekelibat dan sirna begitu saja jika sudah baikan kembali. //Kembali menghela nafas berat// entah kapan permasalahan ini akan usai. Bahkan aku berpikir, pantaskah ini dipermasalahkan? Pantaskah ini menghabiskan waktu dalam hidupku? Pantaskah aku untuknya? Pantaskah ia untukku? Ia sudah menolakku jutaan kali, lantas kenapa aku masih kekeh? Apa sih? Kenapa sih?
Di atas adalah pikiran kontra. Kemudian pikiran pro mulai menyala-nyala..
Angkasa adalah satu-satunya orang yang paling konsisten menanyakan kabar, menawarkan makanan atau minuman, dan mengantarnya waktu aku sedang isolasi mandiri. Kenapa? Satu-satu hal yang paling rasional adalah itu sekalian untuk temennya juga. Oke, itu akan jadi masuk akal. Tidak masuk akal sangat jika itu hanya untukku. Parah, maksudnya apa. //yaelah orang baik salah, jahat salah gimanasik//
Aku sadar Angkasa adalah Angkasa, cuma, aku adalah anak ingusan yang gampang baper, Ang—lah jadi Avatar. Menepis semut atau daun ntah apa yang jatoh di kepalaku waktu di Lembah, beberapa kali anter pulang sampai kosan—yah meskipun kalau ke temen perempuannya yang lain Angkasa sampai jemput terus dianter pulang lagi sih, ntah bagaimana caranya, terkadang aku iri, maaf, aku memang anak yang susah bersyukur, but itsokay deh aku tidak mungkin mendapatkan hal semacam itu, jst bcs aku anaknya mandiri parah. Hahh DUNIA MEMANG TERKADANG TIDAK ADIL, manusia hanya peduli dengan manusia bertampang indah, good looking. Aku nda. Ini adalah pikiran kekanakan, egois, dan sepele yang aku maksud. Semua pasti aku kaitkan ke arah itu. Beberapa malam aku nangis, sejujurnya cuma gara-gara itu. //lah kenapa balik ke pikiran kontra lagi sih// mengsedih.
Memang aku menyedihkan, tidak cantik, dan.. siapalah yang suka denganku. Aku aneh, keras kepala, tidak menyenangkan, sering muram, tidak pandai banyak hal, lamban, tak pandai bercakap pula. Haish.
Sulit seklai mengutarakan hal-hal seperti ini di depan Angkasa secara langsung. Tapi jika boleh menginterupsi, itu karena faktor lingkungan yang kurang mendukung Ang. Jekek terlalu terang untuk menceritakan hal serius seperti ini. Terlalu ramai pula. Suaraku kecil dan sekeliling kita riuh. Aku juga gugup kalau harus melihat mata Angkasa saat berbicara, buyar. Pikiranku kosong. Karena itu, aku akan merasa lebih nyaman jika posisi duduknya sampingan, atau saat boncengan di motor. Itu kenapa aku lebih mudah mengutarakan hal-hal yang bagiku berat saat di jalan. Tidak terlalu terang, tidak perlu ada kontak mata. Yah meskipun kontak mata punya peran penting, tapi kejujuran juga bisa dilihat dari lancar ngganya aku ngomong. Ini kompleks.
Waktu di Hitas, di depan lampu jalan yang redup juga tempat yang pas kurasa. Waktu itu kita duduk sampingan menghadap lampu yang terkadang mati. Lokasi yang baik, meskipun sulit juga keluarnya, tapi setidaknya semua terungkap dengan runtut. Wah kemarin jelek sekali sih bicaranya aku. Aku rasa apa yang aku katakan banyak yang tidak tercerna dengan seharusnya, karena kompleks, bingung harus jabarinnya gimana. Kembali lagi, otak aku membeku, tidak bisa berpikir, memorinya hilang. Dan ada banyak ketakutan, kalau aku bilang ini, nanti ini, padahal maksudnya ngga gitu dst.
Saat balap//beuh flashback dikit memori bom waktu gapapa kali yah// juga, kondisinya gelap, aku matiin lampu pasti. Kalau telponan juga. Yaampun, banyak hal ternyata yang sudah aku jalani dengan Angkasa. Aku sempat merasa ini semua spesial. Tidak, bahkan hingga sekarang bagiku ini semua tetap spesial. Aku belum pernah ada di tahap ini dengan siapapun.. Terima kasih Angkasa sudah membuatku mengalami hal-hal seperti ini.
Akhir kata, semua kegalauan, kemarahan, kekesalan, buruknya komunikasiku, aku jadikan pelajaran. Semoga perlahan aku bisa memperbaikinya. Maaf Angkasa, aku sering melakukan trial and error.
Terima kasih, sudah mengajarkan dan memaksaku untuk menghadapi kondisi-kondisi sulit. Aku masih belajar, tolong jangan galak-galak. I'll do my best.
*tambahan tulisan miring ini aku tulis tanggal 29 Juli 2022. Semangat ya.