Hello

Masih bisa terngiang di kepalaku nada bicaranya saat mengucapkan kata "hello". Bukan, itu sama sekali bukan sapaan.

Mulai dari sejak lama, hampir setahun? Oh sepertinya belum. Ia memasukkan kode sidik jarinya di handphoneku. Ada tulisan "Jangan dihapus!!!" di daftar sidik jari. Ia dapat membuka handphoneku yang terkunci. Fakta itu membuat aku tersenyum selama mengingatnya. Aku juga melakukan hal yang sama, di handphone lamanya. Bedanya, aku izin dulu waktu masukkinnya. Tapi ia sepertinya tidak terlalu peduli juga. Masih aja kaget, "loh kok bisa buka?" pas aku buka kunci handphonenya. Dasar.

Makin ke sini, ia terkadang mengambil dan memainkan handphoneku sesukanya (kalau pas kegeletak gak kepake ajasi). Ia penasaran dengan beberapa aplikasi yang mungkin agak aneh baginya. Pernah ngebongkar isi aplikasi gambarku, Paper. Ada folder yang isinya gambar gajelas menuju dark gitu -.- galau-galau geblek. Main game 2048 versi kota, dan paling buka tutup aja. 

Nah, aku tau anak itu gak mungkin buka yang aneh-aneh. Lagipula memang gaada rahasianya juga henpon akuni. Tapi.. aku lupa coy. Aku lupa kalau aku suka nulis tentang tu anak di 2nd acc twitterku yang 0 following 0 followers plus kekunci. Noh, kurang aman apalagi kan. Etapi langsung dibobol dari henponku langsung!!!11!11!1 Geblek banget sih. Aku lupa akan fakta bahwa ia bisa kapan saja membuka henponku. Benar-benar gak kepikiran di kepalaku. Teingg.

Beberapa hari lalu, Selasa Wage. Tradisi yang tidak pernah absen kami berdua datangi sejak liputan empat bulan lalu. Entah kenapa, malam itu aku merasa sendiri. Padahal ada ia di sampingku. Di antara keramaian orang. Kami duduk lesehan menghadap pemain musik yang melantunkan lagu lumayan sendu. Aku merasa down saat itu. Padahal kehadirannya adalah hal yang paling aku harapkan. Namun, saat itu aku merasa ia tidak hadir. Padahal jelas-jelas ia ada di sebelahku.

Aku bingung. Saat itu merasa takut akan fakta bahwa aku bukanlah yang ia harapkan, namun di antara yang lainnya hanya aku yang selalu hadir. Tidak tahu lagi. Tidak tahan lagi. Aku merasa ingin mundur sambil berlari. Meskipun berbagai tindakan yang ia perbuat tidak sepenuhnya berkata demikian. Aku tahu aku hanya berprasangka. Namun, bagaimana jika memang benar?

Entahlah, aku selalu saja sedih jika mengingat untuk berpikir seperti itu.

Kenapa jadi sendu lagi sih///

Oke, saat makan malam sebelum pulang, ia sempat memainkan handphoneku. Di akhir, ia tertawa garing kemudian mengembalikan henponku di atas meja. Selesai makan, ia menyuruhku menebak kemudian memberitahukan fakta apa yang membuatnya tertawa. "Hello" yang keluar dari mulutnya membuatku shock setengah idup. Pengen aku ketok palaknya detik itu juga. Rasanya mau menangis. Bagaimana jika tulisanku di sana secara gamblang menyebutkan namanya. Bagaimana apabila ia membaca tulisan yang geblek banget buat dibaca.

Sayang, sejak kejadian kejadian itu kami belum ada bertemu yang baik secara kualitas. Aku ingin meminta maaf atas sikapku yang kekanak-kanakan setelah kejadian itu. Atau jangan-jangan sikapku malah menambah beban pikirannya. Aku bingung bagaimana harus memulai kalau udah kejadian yang kayak gini. Kesalahanku, berbuat seolah mengabaikannya padahal tidak. Maafkan aku, kumohon. Aku ingin berbicara santai berdua bersamamu lagi.

Aku merasa kehilangan. Aku ingin bertanya apakah ingin bertemu, tapi aku rasa.. ia sedang sibuk rapat. Oh tidakkk.. maafkan aku. Aku bertanya-tanya apakah kamu membutuhkan dukungan moril? Butuh teman bercerita? Butuh tempat untuk berkeluh kesah? Aku dengan sangat senang hati ingin menemani kok. Namun, di saat yang bersamaan, apakah kamu memang menginginkan aku yang berada di posisi itu? Apakah kamu tidak bosan? Apakah kamu tidak lelah? Apakah kamu tidak merasa keberatan jika itu adalah aku?

Aku bingung..
Maaf, aku hanyalah perempuan biasa. Sama seperti perempuan pada umumnya yang lebih mementingkan perasaan.

Postingan populer dari blog ini

Perahu Kertas

Kehilangan Satu Paket

Some Photos of My Shots