Tahun 2019 tentang 2018

Ini adalah postingan pertama di 2019.
Sudah masuk hari ketiga, sudah masuk hari-hari UAS. Lalu, apa yang akan aku tulis di sini? Hm, bagaimana kalau sedikit merangkum tahun 2018. Baiklah..

Awal tahun 2018 aku dan keluarga berlibur tahun baruan di Kuching, Malaysia. Banyak orang Kalimantan Barat yang berlibur ke sana, termasuk aku. Menyenangkan. Salah satu rumah makannya menyetel lagu Indonesia yang sempat viral di pertengahan 2017, Surat Cinta Untuk Starla. Sumpah itu lagu bertebaran pas aku di Jogja, di kelas pas di Pontianak juga, eh, ternyata pas ke negeri orang juga.

Setelah libur semester selesai, aku masuk semester akhir di SMA. Ujian pun mulai deras mengguyurku. Parahnya, aku yang malas belajar ini bukannya sadar, malah makin malas belajar. Aku merasa pesimis mengejar semua ketertinggalan materiku. Kenapa aku bisa ketinggalan yak? Oh iya, dulu tuh pernah ikut lomba, berderet trus ketinggalan banyak materi. Males banget ngejar. Au ah, bodo amat. Salah sebenarnya, aku kualahan belajar banyak banget, numpuk, tapi nggak masuk-masuk ke otak.

Aku ikut bimbingan belajar, jadwalnya malam habis maghrib. Tahu apa yang aku dapat? Ngantuk. Di kepalaku hanya ada kasur dan bakso. Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, Bahasa, melayang, mereka hanya seperti butiran embun yang lewat begitu saja. Miris sekali, maafkan aku ayah ibu, aku hanya menghabiskan uang kalian dengan hal yang kurang bermanfaat. Tapi, ada yang bisa aku ambil, yaitu teman-teman di sana menyenangkan.

Ujian Nasional yang aneh selesai. Sekitar bulan April. Selama menghadapi ujian, aku lebih rajin mempelajari piano dibanding pelajaran untuk ujian. Aku sih yang aneh, bukan ujiannya. Sejak H-sebulan ujian, aku tidak sibuk belajar soal, tapi piano. Bukan piano sih, keyboard hehe. Kalian pasti bertanya-tanya, lah buat apa? Jawabannya adalah untuk tampil di acara perpisahan. Acara itu dilaksanakan H+2 ujian terakhir. Duh, gimana ga greget tuh. Aku pengen banget tampil di acara perpisahan, caranya aku ikut band temenku, jadi pemain keyboard.

Acara perpisahan diadakan di ballroom hotel yang cukup mewah. Partisipannya sudah menyiapkan penampilan dari jauh-jauh hari. Kalau yang cewek-cewek pasti besebok (bersibuk) nyari make up, pernak-pernik segala macam yang lebih rempong lagi. Aku, bodo amatlah. Aku sudah menemukan dress dari tahun lalunya, langsung jatuh cinta pada pandangan pertama pas lihat di toko. Dress panjang warna abu-abu. Ya, begitulah. Kemudian aku dan teman-temanku tampil, kami membawa lagu dari Payung Teduh berjudul Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan. Aku sedikit kecewa karena suara keyboard yang aku bawa sangat-sangat kecil, bahkan aku tidak jelas mendengarnya. Kedua, tidak ada foto full team dengan seluruh anggota band.

Selesai sudah masa-masa indahku di SMA Negeri 1 Pontianak. Mulailah belajar untuk masuk perguruan tinggi. Aku sejujurnya hilang arah tujuan. Aku suka apa, aku ingin apa, aku ngejar apa, aku belajar apa, aku linglung. Cita-citaku sedari kecil adalah menjadi ahli Astronomi. Berlanjut hingga aku remaja dan sekarang ini. Tapi, untuk perguruan tinggi di Indonesia, Astronomi hanya ada di FMIPA ITB. Susah banged coy masuk sana, apalagi dengan kondisiku yang malasnya na'udzubillah ini. Aku yakin dan percaya, sebenarnya otakku mampu, cuma, jasadku ini entah kenapa pemalas sekali. Kemudian, aku suka desain, tapi tidak ada jurusan IPA yang mengarah ke pendesainan kecuali arsitektur dan sejenisnya. Aku pun mulai berkiblat ke jurusan itu. /Ternyata teknik Industri dan Informatika mainannya juga banyak desain, aku baru tau sekarang/

Gagal, semua gagal. Bye PTN. Aku sempat berpikir untuk gap year. Tapi, jelas dilarang orang tuaku. Aku pun mencoba ujian masuk ke Universitas Islam Indonesia. Salah satu Universitas swasta terbaik di Indonesia yang berlokasi di Jogja. Kebetulan tes masuknya dibuka di sekolahku, jadi tidak perlu jauh-jauh ke Jogja, hmm meskipun habis ikut SIMAK UI di Depok aku bertualang seorang diri ke Jogja. Detik-detik terakhir tes ditutup, aku baru mengikutinya. Pilihan pertamaku, Arsitektur. Pilihan kedua, tepat di depan komputer CBT, aku termangu. "Ini yang kedua milih apaan yak?" Astagfirullah, ke mana saja kamu nak// Aku bingung. Tapi bapak pengawasnya udah nungguin. Aku agak panik tapi tetap tenang. Aku bolak-balik scroll-scroll pilihan jurusannya. Sempat nanya ayahku pas di rumah, pilih Pend. Agama Islam, biar kayak ayah ibu, tapi ayahku malah tertawa. "Masa sama kayak ayah ibu, ganti yang lain lah." Aku mau pilih apaan ya. Bingung. Dung-dungnya tuh gak aku pikirin dari rumah. Soalnya aku pergi ke sekolah waktu itu rada nekat gitu, pengen coba aja. Gak ada niatan lulus hari itu juga.

Setelah dipikir setengah matang, entah kenapa, aku ngeklik jurusan Psikologi. Kayanya keren gitu, terus ilmunya juga bisa aku terapkan ke kehidupan sehari-hari.//hiya biar bisa baca pikiran orang// wkwkwkk ya nggak lah. Biar aku paham, aku ini sebenarnya bagaimana dan bagaimana sebaiknya aku bersikap. Cielah. Aku juga nggak terlalu berharap untuk lolos hari itu juga. Eh, tau tau aku lolos di pilihan yang kedua, Psikologi. Aku senang bisa lolos tiba-tiba padahal aku tidak mengharapkannya. Aku pulang dan nunjukin ke ayah. Ayahku langsung iyain, pergi sana ke Jogja. Wohohoho. Biaya hidup di sana (sekarang: sini) juga murah. 

Akhirnya cita-citaku untuk mengarungi pulau Jawa akan tercapai. Sebenarnya aku tidak terlalu peduli mau kuliah di mana, asal bukan di Kalimantan. Bosan di sini (sekarang: sana) mulu. Di Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), sebenarnya bisa saja aku lolos di PTN Pontianak, aku sempat berpikiran untuk memilih jurusan Pertanian yang peminatnya tidak seberapa //ini kenapa melenceng lagi hah/ dulu aku suka pelajaran Biologi. Tapi, entah itu pintar atau bodoh, aku milih tiga Perguruan Tinggi bergengsi. UI, UI, IPB. Gila gak tuh. Dasar tidak tahu diri. Aku takut lolos di PTN Pontianak, soalnya, kalau lolos, mau tidak mau aku harus ambil. Padahal tidak mau/hehe maaf/. Makanya aku memastikan diri tidak lolos di manapun, karena tidak memilihnya.

Oleh karena keterpaksaan yang aku mau, dan gak terpaksa juga, dengan sukarela aku memenuhkan tekad dan langkah ke PTS di Jogja itu. Yang penting tidak di Kalimantan lagi. Itu prinsipku yang paling diprioritaskan. Tapi, bukan berarti Untan (PTN di Pontianak) itu tidak bagus. Bagus. Keren. Anak-anaknya berprestasi, gak kalah dengan Univ. negeri lain yang mentereng itu. Cuma, aku saja yang ingin pergi jauh, biar bisa belajar lebih baik dan menemukan arti kehidupan yang sesungguhnya. Kemandirian sejati di tempat yang jauh dari keluarga. Cielah.

Aku terbang dari bandara Supadio ke Adi Sucipto sendirian. Tidak ditemani keluarga atau siapapun. Aku sampai tidak ada yang menyambut, tidak ada utusan yang membawaku ke tempat penginapan, tidak ada yang mencarikanku kos-kosan, tempat tinggal, tidak ada. Semua serba sendiri. Tidak ada yang aku kenal di kota ini. Tidak ada sanak saudara yang bermukim di sini. Aku benar-benar sendirian. Aku berlalang-buana seorang diri. Barulah esok-esoknya teman-teman dekatku pada berdatangan, kami menjalani hari bersama. Makan bersama, berlibur, mengurus perkuliahan, explore Jogja, mengasyikan. 

Bulan September, setelah rangkaian ospek, aku mulai kuliah yang sesungguhnya. Belajar apa? Psikologi. Aku mulai mengenal teman-teman baru. Aku mengikuti kegiatan-kegiatan seperti Lembaga Pers Mahasiswa, Kepanitiaan Acara FPSB Islamic Festival, dan Lembaga belajar Al-Qur'an Hawasi. Aku sempat ikut kegiatan bela diri, tapi, aku terlalu lemah dan menyerah. Aku hanya datang sekali pertemuan setelah itu jera untuk lanjut ke pertemuan selanjutnya. Latihan dari jam 8 malam sampai nyaris pukul 2 dini hari, dan besoknya ada kuliah. Mau nangis gak tuh.

Di tengah agenda perkuliahan, aku sempat tiba pada titik di mana hidupku sedang dihempas. Aku muak dengan semuanya. Aku ingin pulang. Aku menyesal telah memilih langkah ini. Aku tidak menyukai apa yang aku jalani. Aku merasa sedang bermimpi dan tiap terbangun, aku berharap benar-benar bangun dari mimpi datar ini. Aku ingin pergi dari sini. Semua seolah semu. Terlihat berjalan dengan tidak adanya aku pada hal yang aku sukai. Aku seperti tidak memiliki alasan untuk menjalani semua ini. Semua seperti omong kosong. Aku benar-benar merasa hampa. Ditambah permasalahan-permasalahan yang datang, padahal tidak perlu untuk dibesarkan, meluap, memenuhi kepalaku. Kepalaku sampai sakit sampai beberapa hari.

Saking tidak tahannya aku saat itu, aku menelepon ayah dan ibuku. Mereka terkejut. Ada rasa kecewa dari nada suara di ujug sana. Aku meminta untuk berhenti dari kampus ini. Aku merasa tidak menemukan aku pada mata kuliah yang aku pelajari. Sama sekali tidak ada aku dalam Psikologi ini. Psikologi bukanlah bagian dari jiwaku. Tidak ada rasa ketertarikan untuk mempelajarinya. Aku lebih suka mengerjakan desain powerpoint dibanding tugas apapun. Sebagian teman kelasku tahu aku menykai desain dan komentar mereka bagus. Mereka memuji terlalu tinggi malah. Teman SMAku juga berkomentar, kenapa masuk Psikologi, bukan desain atau sejenisnya. Aku bingung menjawabnya. Aku juga selalu sepenuh hati saat mengerjakan tugas berbau mendesain. Karena aku suka. Tidak seperti tugas biasa lainnya.

Di telepon itu, aku mengatakan ingin mengulang tes masuk PTN lagi tahun depan. Beralih ke jurusan Soshum dan memilih jurusan berbau desain yang sesungguhnya. Desain Komunikasi Visual, Desain Interior, atau desain-desain lainnya. Orang tuaku menyetujui, dengan syarat nilai semester 1 ku harus bagus.

Setelah itu aku menjalani hari dangan, "wah, aku akan meninggalkan tempat ini. Aku akan memerhatikan sekitar denga lebih baik, ini akan menjadi bagian hidupku yang hilang." Aku berinteraksi kepada teman-temanku dengan, "bailah, aku harus bersikap baik kepadanya, sebentar lagi aku akan tidak bertemu lagi dengannya." Atau memandang suasana kampus dan kos dengan, "ahh, sebentar lagi aku akan meninggalkan tempat ini. Terima kasih ya."

Tepat di hari yang sama setelah aku menelepon orang tua, ada kegiatan Musyawarah Anggota dari LPM yang aku ikuti. Deretan laporan pertanggungjawaban dan pergantian staff pengurus. Aku mengikutinya selama beberapa hari sebagai panitia acara, dokumentasi (yang cuma jepret satu kali). Itulah kegiatan yang diadakan di villa. Membuat hariku menjadi berubah. Tidak, tidak hanya hariku saja yang berubah. Aku jadi tersadar.. ternyata di daratan pulau Jawa ini masih menyisakan manusia baik yang dimunculkan di hadapanku.

"Kamu sakit kan? Biar diantar sekalian."

Cara bernilai yang kurang lebih sama denganku. Cerita-cerita sederhana dan percakapan ringan yang mampu mengobati rasa rinduku pada pulau asal. Kata-kata yang selalu ia ucapkan dengan hati-hati, tidak menyakiti. Sopan, sabar, tidak merendahkan. Aku merasa tenang saat ia ada. Aku merasa, aku memiliki satu alasan untuk berdiri di sini. Aku memiliki alasan untuk tidak pergi. Aku memiliki alasan untuk tetap bertahan.

Ia adalah yang sering sekali aku tulis di postingan belakangan ini. Hampir seluruh isi buku jurnalku yang keempat mengisahkan kejadian bersamanya. Kisah-kisah akhir tahun setelah kegiatan musyawarah anggota adalah tentangnya. Seperti saat pertama kalinya aku mendaki gunung, Gunung Merbabu adalah bersamanya. Saat perjalanan ke Solo, aku jadi sering menghubunginya. Saat keluargaku datang, aku menjemput bersamanya, makan malam bersamanya. Saat penutupan acara pelantikan, aku hadir untuknya. Saat temanku tampil teater, ada ia menjadi penonton bersamaku.

Kisah akhir tahunku ditutup dengan berlibur dengan keluarga di Jogja dan Solo. Menyenangkan.

Sekian, terima kasih.

Postingan populer dari blog ini

Perahu Kertas

Kehilangan Satu Paket

Some Photos of My Shots